Saturday, December 15, 2012

Bahaya Konsumerisme pada Remaja


Sekelompok remaja, sebagian masih berseragam sekolah, duduk lesehan di emperan gerai "7-Eleven" di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.
Melepas tawa, sesekali mereka menyeruput "Slurpee", minuman soda dingin dan melahap hotdog Big Bite di tengah udara panas dan suara bising oleh lalu lalang kendaraan di sekitarnya. Gerai asal Amerika ini berhasil "menyihir" ribuan remaja kota besar untuk mengecap gaya hidup modern hang-out alias nongkrong.  Sambil nongkrong, mereka pamer gadget terbaru, dari ponsel pintar iPhone sampai Blackberry.

Sebuah fenomena Konsumerisme yang begitu kentara saat ini.

Disadari atau tidak, era globalisasi dan mudahnya mendapatkan informasi melalui berbagai sarana teknologi dapat memengaruhi masyarakat untuk berperilaku konsumtif. Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan anak-anak dan kalangan muda (ABG), bahkan setiap saat mereka bisa mengakses informasi yang dibutuhkan melalui telepon selulernya.

Di satu sisi, globalisasi membawa dampak yang positif bagi masyarakat, namun disisi lain globalisasi dapat menimbulkan dampak negatif seperti dis-orientasi, dislokasi, atau krisis sosial-budaya dalam masyarakat, serta semakin merebaknya gaya hidup konsumerisme dan hedonisme.Saat ini, konsumerisme tidak hanya terjadi di perkotaan, namun sudah merambah ke pedesaan. Ini sangat berbahaya, kalau tidak dicegah sejak dini.

Emo ergo Sum

Konsumerisme menjadi topik menarik dalam masa kekinian ketika dikaitkan dengan fenomena remaja sekarang. Jika dulu René Descartes menyatakan eksistensi manusia dengan jargon Cogito Ergo Sum, aku berpikir maka aku ada, maka remaja sekarang akan mengatakan Emo Ergo Sum, aku belanja maka aku ada. Belanja menjadi semacam eksistensi remaja untuk bisa diteria dikelompoknya.

Pola hidup konsumerisme telah terbentuk pada anak muda, bahkan sejak usia dini.  Sejak mereka mulai berangkat remaja sudah dicekoki oleh berbagai iklan, promosi soal gaul dan tidak gaul kalau tidak menggunakan merek ini atau itu. Ditambah tayangan film sinetron di televisi mengumbar kekayaan dan gaya hidup mewah mendorong anak-anak untuk meniru.

Itulah salah satu keberhasilan media khususnya televisi dalam menanamkan `citra" tertentu pada produk sehingga kalau tidak pakai produk A, maka disebutlah norak.

Konsekuensinya, ketika mereka hangout alias bergaul, anak harus mempunyai uang cukup, melengkapi dirinya dengan asesoris seperti telepon seluler pintar dan sebagainya. Ini tentu tak terlalu baik bagi pembangunan generasi, dan harus dikendalikan

Lebih dalam, remaja lambat laun akan tergerus dengan budaya konsumerisme. Mereka akan menjadi obyek bagi pasar dan semakin kehilangan jati dirinya sebab mereka hanya mejadi penganut setia tren yang dikembangkan sistem pasar.

Budaya konsumerisme mementingkan benda sebagai ukuran kesenangan dan kenikmatan yang akan menjerumuskan remaja masa kni menjadi generasi yang yang bertopengkan popularisme dengan memandang hidupnya hanya sebatas tren.

Perilaku remaja yang semakin konsumtif secara manusia dapat dibenarkan karena pada hakikatnya manusia terus memiliki kebutuhan. Tanpa dipenuhinya kebutuhan itu manusia akan merasa kekurangan. Begitu pula dengan remaja, kebutuhan  menempatkan mereka sebagai manusia ekonomi yang terus memiliki kebutuhan.

Abaraham Maslow  lewat teori kebutuhannya mengtakan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang bertingkat-tingkat. Yang paling mendasar adalah kebutuhan fisik, kemudian selanjutnya kebutuhan memperoleh rasa aman, kebutuhan sosialisasi, kebutuhan pengakuan, dan kebutuhan aktualisasi diri. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhab tersebut, manusia akan mengusahakannya dengan kegiata konsumsi.

Timbulnya budaya konsumerisme

Sebagai bagian dari masyarakat yang berorientasi pada konsumsi, remaja juga memenuhi kebutuhannya dengan kegiatan konsumsi. Namun kenyataanya, mereka mengkonsumsi sesuatu bukan dari segi fungsionalnya melainkan tren yang sedang berkembang. Contoh konkretnya adalah tren blackberry dikalangan remaja saat ini. Mereka lebih membeli Blackberry dibanding merk handphone lainnya.  Jika dilihat dari fungsionalnya, handphone merk lain memiliki fungsi dan keguanaan yang sama dengan Blackberry bahkan ada beberapa yang lebih canggih. Demikian halnya dengan fungsi barang yang ada di mall ataupun tempat nongkrong lainnya juga sama seperti yang ad di pasar dan angkringan. Jika secara fungsional barang-barang itu sama lantas mengapa para remaja BB,dan mall ? Hal ini terkait erat dengan merk dan gengsi. Dalam hal ini mereka merasa diakui ketika membeli barang dengan merk ternama. Karena itulah remaja saat ini cenderung menganut perilaku konsumerisme.

Remaja adalah kelompok usia yang masih sangat labil dan sedang mencari identitas diri. Hal ini dimanfaatkan oleh para pelku bisnis untuk mengeiksploitasi celah kelemhan yang ada pada remaja ini. Erich Fromm, seorang pakat psikoanalisa, mengatakan bahwa krisis identitas pada remaja muncul akibat ketidak smpurnaan kemampuannya dalam meraih kematangan dan tanggung jawab. Sementara bagi para pebisnis, krisis identitas adalah sebuah kebutuhan remaja yang bisa mendorong terjadinya permintan.

Remaja menjadi segmen pasar yang menguntungkan kaum pebisnis. Jika remaja membutuhkan identitas maka dunia bisnis bisa menawarkan dan menjual berbagai macam identitas bagi remaja. Krisis identitas diri yang dialami remaja membuatnya sulit untuk menhan diri dari godaan konsumtif yang ditawarkan dunia bisnis. Kondisi ini menciptkan daya tarik menarik yang kuat diantara keduanya.

Pentingnya Peran Orang Tua

Sejauh ini konsumerisme berpengaruh buruk pada anak, terlebih tak semua remaja memiliki uang saku, fasilitas komunikasi dan transportasi yang melimpah. Beberapa kasus bunuh diri atau kejahatan yang melibatkan anak dan remaja belakangan ini ironisnya disebabkan oleh kebutuhan mereka akan barang-barang mewah seperti Blackberry. Setelah kasus penusukan kawan sekelas yang dilakukan seorang siswa SD di Depok baru-baru ini, seorang pelajar SMP bunuh diri karena orangtuanya tak membelikan dia  BlackBerry yang dimintanya

Budaya konsumerisme saat ini sudah semakin parah, sehingga perlu adanya upaya bagaimana mengubah perilaku konsumtif menjadi produktif dan hal tersebut harus dilakukan secara masif dari lingkungan terkecil dan sejak dini. Konsumerisme, hedonisme, hilangnya rasa kesantunan dan etika bersosialisasi di kalangan anak-anak atau remaja mengakibatkan sebuah polemik yang harus ditindak lanjuti oleh semua pihak, agar jati diri bangsa tidak punah begitu saja.

Solusi yang tepat agar dapat meminimalisir berkembangnya budaya konsumerisme adalah para orang tua memberikan pengertian pada anak-anaknya untuk memberikan skala priotitas yang akan dikonsumsi agar dapat digunakan secara efektif.


Sumber
 http://komahi.umy.ac.id/2010/12/budaya-konsumerisme-masyarakat.html

1 comments:

Unknown said...

blognya sipp banget.. gampang aja sihhh buat para konsumerisme berhenti royal dg stereotype "mending keliatan miskin daripada pura pura kaya" atau "sekalinya kaya juga ngga perlu norak" hehe maap maap...

Post a Comment