BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembangunan manusia
yang dicanangkan sebagai titik sentral pembangunan nasional bukanlah
semata-mata untuk mensukseskan pembangunan tetapi justru pembangunan itu
sendiri harus ditujukan untuk manusia. Oleh karena sumber daya manusia bukan
hanya sarana untuk memikul beban pembangunan, tetapi harus merupakan sasaran
utama dari pembangunan. Ini berarti kesempatan kerja yang berhasil diciptakan
oleh pembangunan merupakan salah satu tolok ukur dalam menilai keberhasilan
pembangunan.
Pembangunan merupakan
bentuk perubahan sosial yang terarah dan terncana melalui berbagai macam
kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. (http://learning-of.slametwidodo.com/). Pembangunan yang dilakukan
sebenarnya merupakan suatu proses perubahan pada berbagai aspek kehidupan.
Perubahan tersebut tidak hanya berupa perubahan fisik saja namun banyak juga
yang bersifat non fisik.
Masyarakat Samin yang memiliki berbagai tradisi dan budaya bisa
dikategorikan sebagai salah satu kelompok etnik yang ada di Indonesia.
Sementara itu Pemerintah Propinsi Jawa Tengah juga mengakui masyarakat Samin
ini sebagai salah satu kelompok etnik yang ada di Jawa Tengah dari empat etnik yang
ada. Komunitas Samin ialah sekelompok orang yang mengikuti ajaran Samin
Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda. (http://learning-of.slametwidodo.com/).
Samin Surosentiko di usianya yang 31 tahun pada tahun 1890 mulai
menyebarkan ajarannya kepada orang-orang sedesanya. Ajarannya mendapat
tanggapan baik, dan segera memikat orang banyak dari desa-desa sekitarnya.
Semula ajaran itu tidak serta merta menarik minat pemerintah dan tidak juga menimbulkan
persoalan bagi pemerintahan kolonial. Namun sekitar tahun 1905 terjadi
perubahan, karena para pengikut Samin mulai menarik diri dari kehidupan umum di
desanya, menolak memberikan sumbangan pada lumbung desa dan menggembalakan
ternaknya bersama ternak yang lain. ( Widiyanto, 1983 ). Sehingga pada waktu
itu masyarakat Samin dapat diidentifikasikan sebagai masyarakat yang ingin
membebaskan dirinya dari ikatan tradisi besar yang dikuasai oleh elit penguasa
yaitu pemerintahan kolonial.
Sebagai salah satu kelompok etnik yang ada di Indonesia, masyarakat Samin
memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Selama
lebih dari 100 tahun masyarakat Samin sudah mengalami perubahan pada pranata
sosial dan kebudayaan yang selama ini mereka anut. Bisa dikatakan bahwa Tradisi
Saminisme sekarang sudah berubah, artinya Saminisme sudah bukan lagi menjadi
kebanggaan dalam struktur sosial dimana mereka hidup. Apabila ditinjau dari
sistem nilai, Saminisme sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai
yang berada di tengah-tengah mereka. (http://learning-of.slametwidodo.com/)
Perubahan yang terjadi pada masyarakat Samin tentu saja tidak terlepas dari
derasnya arus modernisasi. Modernisasi dalam lingkup masyarakat tradisional
akan menimbulkan implikasi terhadap masyarakat tersebut. Sebagian besar
masyarakat tradisional masih menjunjung tinggi nilai-nilai yang diwarisi secara
turun temurun dari nenek moyangnya dulu. Tidaklah mengherankan kelompok masyarakat
seperti ini telah memiliki pola budaya tertentu. Di sisi lain adanya
modernisasi tentu akan membawa pola budaya baru bagi masyarakat tersebut yang
mungkin berbeda dengan norma serta nilai yang lama. (http://learning-of.slametwidodo.com/)
Nilai-nilai baru yang masuk seiring dengan derasnya arus modernisasi
membawa konsekuensi perubahan pada masyarakat Samin di berbagai bidang. Oleh
karena itu dalam penelitian ini akan memfokuskan kajian pada analisis perubahan
sosial pada masyarakat Samin.
B. Pembatasan
Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan uraian di atas
maka permasalahan yang ada harus dibatasi. Pembatasan masalah ini bertujuan
untuk memfokuskan perhatian pada observasi agar diperoleh kesimpulan yang benar
dan mendalam pada aspek yang diamati. Cakupan masalah dalam observasi ini
dibatasi pada bagaimana konsep mobilitas sosial serta yang ada pada masyarakat
suku Samin Kabupaten Blora.
C.
Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi
masalah, dan batasan masalah diatas maka rumusan masalah pada observasi ini
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bagaimana deskripsi singkat
tentang masyarakat suku Samin?
2. Teori apa yang digunakan untuk
mengkaji mobilitas sosial yang terjadi pada masyarakat suku Samin?
3. Bagaimana mobilitas sosial yang
terjadi pada masyarakat suku Samin?
D.
Tujuan Penelitian
Tujuan
Umum
1. Untuk mengetahui deskripsi
singkat tentang suku Samin.
2. Untuk mengetahui teori yang
digunakan untuk mengkaji mobilitas sosial yang terjadi pada masyarakat suku
Samin Kabupaten Blora.
3. Untuk mengetahui konsep mobilitas
sosial yang terjadi pada masyarakat suku Samin atau sedulur Sikep.
Tujuan
khusus
1. Untuk mengetahui bagaimana proses
mobilitas sosial budaya yang terjadi pada masyarakat suku Samin atau sedulur
Sikep.
2. Secara khusus, untuk mengetahui
dampak dari mobilitas sosial budaya yang
terjadi pada masyarakat suku Samin atau sedulur Sikep Kabupaten Blora.
E.
Manfaat Observasi
Observai
ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara
praktis, yaitu sebagai berikut:
1.
Manfaat secara Teoritis
KKL
I di Kabupaten Blora pada suku Samin mengenai Mobilitas sosial di diharapkan
dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan, dan memberikan
pengetahuan secara umum mengenai perkembangan masyarakat dan perubahan sosial
yang terjadi pada suku Samin, serta dapat bermanfaat bagi penelitian
selanjutnya yang sesuai dengan tema ini.
2.
Manfaat secara Praktis
a.
Bagi Peneliti
Melalui
Kuliah Kerja Lapangan ini, kami dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan
khususnya mata kuliah Struktur dan
Proses Sosial secara nyata. Selain itu, kami juga dapat mengetahui bagaimana
mobilitas sosial serta struktur dan proses sosial yang ada pada masyarakat suku
Samin.
b.
Bagi Mahasiswa
Hasil
KKL ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi mengenai mobilitas
sosial-budaya terkait dengan era globalisasi saat ini, dan bagaimana fenomena
sosiologis yang muncul terkait dengan hal ini, serta laporan observasi ini
dapat bermanfaat sebagai referensi kajian untuk observasi lainnya dengan tema
yang sesuai.
c.
Bagi Masyarakat
Laporan observasi KKL
ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
kepada masyarakat mengenai proses dan dampak dari mobilitas
sosial-budaya yang terjadi,terutama untuk masyarakat suku Samin itu sendiri.
Memberikan kontribusi pengetahuan yang positif kepada masyarakat mengenai keberadaan masyarakat Samin beserta
perubahan sosial yang melingkupinya.Oleh karena itu dalam penelitian ini
akan memfokuskan kajian pada analisis perubahan sosial yaitu mobilitas sosial pada
masyarakat Samin.
d.
Bagi Universitas dan Lembaga
Pendidikan
Hasil
laporan observasi KKL ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
bagi para akademisi tentang Perubahan sosial budaya yaitu mobilitas sosial dan
dampak sosiologis dari perubahan sosial budaya
yang ditimbulkan
BAB II
METODOLOGI
PENELITIAN
A.
Lokasi Penelitian
Penelitian Kuliah Kerja Lapangan
I dilakukan di desa Mendenrejo, kecamatan Kradenan, kabupaten Blora, Jawa
Tengah.
B.
Tema penelitian
Penelitian KKL I difokuskan pada
tema Mobilitas Sosial yang terjadi
pada suku Samin di desa Mendenrejo, kecamatan Kradenan, kabupaten Blora, Jawa
Tengah.
C.
Bentuk dan Strategi Penelitian
Berdasarkan
sifat dan spesifikasi yang diangkat dalam penelitian ini, maka bentuk
penelitian yang tepat digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan
Kualitatif.
Penelitian
Kualitatif adalah penelitian yang meggunakan wawancara sebagai sumber datanya,
dan mencari informasi yang selengkap-lengkapnya dari suatu hal.
D.
Sumber Data
1. Data Primer
Yang dimaksud data primer disini
adalah pengambilan data dengan wawancara. Wawancara telah dilakukan dengan
narasumber yaitu beberapa warga masyarakat desa Mendenrejo, kecamatan Kradenan,
kabupaten Blora, Jawa Tengah.
.
2. Data Sekunder
Data
ini berupa sumber tertulis yaitu sumber diluar kata-kata dan tindakan yang
dikategorikan sebagai sumber data kedua, namun tetap penting keberadaannya bagi
upaya pengumpulan data penelitian. Sumber data tertulis dalam penelitian yang
telah kami lakukan ini adalah buku-buku, dan sumber-sumber lainnya yang
berkenaan dengan observasi ini.
3.
Langkah-langkah Penelitian
a. Tahap Pra Lapangan
Pada
tahap ini peneliti mengadakan survei pendahuluan. Selama proses ini peneliti mengadakan penjajakan lapangan
terhadap lokasi penelitian, studi literatur serta menyusun rancangan penelitian
b. Tahap Pekerjaan Lapangan
Dalam
tahap ini peneliti memasuki dan memahami lokasi penelitian dalam rangka
pengumpulan data
c. Tahap Analisis Data
Peneliti melakukan serangkaian proses analisa data kualitatif sampai
pada interpretasi data-data yang diperoleh sebelumnya. Selain itu peneliti juga
menempuh proses triangulasi data yang dikomparasikan dengan teori kepustakaan.
d. Tahap Evaluasi dan Pelaporan
Tahap ini merupakan tahap terakhir dan
dilaksanakan setelah penelitian diuji.
4. Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah
cara-cara untuk memperoleh data yang lengkap, objektif dan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya serta sesuai dengan tujuan penelitian.
Menurut Lofland and Lofland (1984 : 47) dalam Moleong (1989 : 112) sumber data
utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sedangkan Hadawi Nawawi
(1983) mengemukakan bahwa data penelitian dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Data Primer
Yaitu data autentik
atau data langsung dari tangan pertama tentang masalah yang diungkapkan. Data
ini disebut juga dengan data asli.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang
mengutip dari sumber lain sehingga bersifat tidak autentik karena sudah
diperoleh dari tangan kedua, dengan demikian data ini disebut juga data tidak
asli.
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan
beberapa teknik pengumpulan data, yaitu :
a. Wawancara mendalam
Wawancara dilakukan dengan menyiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan.
Namun dalam prakteknya daftar pertanyaan ini tidak mengikat jalannya wawancara.
b.
Observasi
Observasi dilakukan di desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten
Blora, Jawa Tengah.
c.
Dokumentasi
Data-data pendukung lain diperoleh melalui dokumen-dokumen penting
seperti dokumen lembaga yang diteliti termasuk di dalamnya data administrasi
lembaga. Di samping itu foto maupun sumber tertulis lain yang mendukung juga
bisa digunakan dalam proses dokumentasi.
5.
Instrumen Penelitian
Instrumen utama adalah peneliti sendiri karena pendekatan yang digunakan
adalah kualitatif. Sehingga kedudukan peneliti sekaligus perencana, pelaksana,
pengumpul data, penafsir data dan pelapor hasil penelitian. Di samping itu
dapat juga digunakan instrumen lain seperti alat tulis, pedoman wawancara,
pedoman observasi dan dokumentasi.
6. Analisis
Data
Teknik analisis data menggunakan langkah-langkah seperti yang dijelaskan
oleh Miles dan Huberman (1992) yaitu :
a.
Reduksi Data
Proses ini dilakukan dengan mengklasifikasikan data-data dari
catatan tertulis di lapangan.
b. Penyajian Data
Data yang telah direduksi disajikan dalam laporan yang
sistematis, mudah dibaca dan dipahami baik secara keseluruhan maupun
bagian-bagian.
c. Pengambilan Kesimpulan
Data yang telah diproses kemudian ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode induktif yakni proses penyimpulan dari hal-hal yang sifatnya
khusus ke hal-hal yang sifatnya umum agar diperoleh kesimpulan yang obyektif.
7.
Uji Keabsahan Data
Peneliti dalam memeriksa keabsahan data
menggunakan teknik :
a. Triangulasi
data yaitu teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar
data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut.
Triangulasi dibedakan menjadi empat macam yaitu dengan sumber, metode, penyidik
dan teori (Moleong, 2000). Sedangkan
teknik yang digunakan oleh peneliti adalah triangulasi dengan sumber dan
metode.
b. Membercheck yaitu mengulang garis besar apa yang diungkapkan
oleh informan pada akhir wawancara guna mengoreksi bila ada kesalahan serta
menambahkan apabila terdapat beberapa kekurangan.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
1. Perubahan sosial
a. William F Ogburn
Ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan
baik yang material maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh
besar unsur-unsur kebudayaan materiil terhadap unsur-unsur immaterial. (Soekanto, 1999).
b. Mac Iver
Memfokuskan pada adanya pembedaan antara utilitarian elements dengan cultural
elements yang dilandaskan pada kepentingan-kepentingan manusia baik primer
maupun sekunder. Utilitarian elements disebut dengan civilization.
Yang dimaksud adalah segala mekanisme dan organisasi yang dibuat manusia untuk
dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, didalamnya termasuk dalam menguasai
kondisi-kondisi kehidupannya, termasuk di dalamnya sistem-sistem organisasi
sosial, teknik dan alat-alat material. Pesawat telepon, jalan kereta apai,
sekolah, hukum dan seterusnya dimasukkan ke dalam golongan tersebut. Sedangkan,
culture adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan
berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan.
Sebuah potret, novel, drama, film, permainan, filsafat dan sebagainya termasuk culture, karena hal-hal tersebut secara
langsung memenuhi kebutuhan manusia.
c. Gillin
dan Gillin
Perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang
telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan
material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
d. Samuel
Koenig
Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam
pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi mana terjadi karena sebab-sebab
intern maupun sebab-sebab ekstern.
e. Selo
Soemarjan
Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya,
termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Penekanan definisi ini tertumpu pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, dimana perubahan
yang terjadi akan mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya.
f. Kingsley
Davis
Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur
dan fungsi masyarakat.
2. Masyarakat Samin
Masyarakat Samin adalah keturunan para
pengikut Samin Soerontiko yang mengajarkan sedulur sikep, dimana dia
mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar
kekerasan. Sedulur Sikep hidup secara tersebar di pantai utara Jawa Tengah,
seperti Kudus, Pati, Blora, Rembang, Bojonegoro bahkan sampai ke Ngawi.
Samin Soerontiko sering disebut juga
sebagai Raden Kohar. Ia masih berdarah bangsawan Majapahit yang hidup pada
zaman kolonial Belanda. Karena alasan tertentu memutuskan meninggalkan gemerlap dunia kebangsawanan. Ia mendalami
keilmuan spiritual yang saat itu sudah mulai diintervensi oleh kepentingan
kelompok tertentu, khususnya oleh
agama-agama baru dan tata kehidupan kolonial. Mbah Samin mendalami sendiri
nilai-nilai budi luhur serta beladiri menentang penjajahan Belanda dan pada
akhirnya mengajarkan kepada murid-muridnya. Begitu mencoloknya sikap Mbah Samin
terhadap tata kehidupan saat itu, sehingga sampai kini orang lain mengatakan ”
Dasar orang Samin” pada tindak-tanduk serupa.
(Wahono dkk, 2002)
Bentuk yang dilakukan adalah menolak
membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial.
Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah
Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang
dianggap menjengkelkan oleh kelompok diluarnya. Masyarakat Samin sendiri juga
mengisolasi diri sehingga baru pada tahun 70an mereka baru tahu Indonesia telah
merdeka. .(http://rinangxu.wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/)
Orang luar Samin sering menganggap mereka
sebagai kelompok yang lugu, suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap
menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran
Samin diantaranya adalah :
· Agama adalah senjata atau pegangan hidup.
Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam
hidupnya.
· Jangan mengganggu orang, jangan
bertengkar, jangan irihati dan jangan suka mengambil milik orang lain.
· Bersikap sabar dan jangan sombong.
· Manusia harus memahami kehidupannya, sebab
roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya.
· Bila orang berbicara, harus bisa menjaga
mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena
terdapat unsur ‘ketidakjujuran’ didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan
dalam bentuk apapun.
Masyarakat Samin terkesan lugu, bahkan
lugu yang amat sangat, berbicara apa adanya, dan tidak mengenal batas halus
kasar dalam berbahasa karena bagi mereka tindak-tanduk orang jauh lebih penting
daripada halusnya tutur kata. Kelompok ini terbagi dua, yakni Jomblo-ito atau
Samin Lugu, dan Samin sangkak, yang mempunyai sikap melawan dan pemberani.
Kelompok ini mudah curiga pada pendatang dan suka membantah dengan cara yang
tidak masuk akal. Ini yang sering menjadi stereotip dikalangan masyarakat
Bojonegoro dan Blora. Mereka melaksanakan pernikahan secara langsung, tanpa
melibatkan lembaga-lembaga pemerintah bahkan agama, karena agama mereka tidak
diakui negara. Mereka menganggap agamanya sebagai Agama Adam, yang diterapkan
turun temurun. Dalam buku Rich Forests, Poor
People - Resource Control and Resistance in Java, Nancy Lee Peluso
menjelaskan para pemimpin samin adalah guru tanpa buku, pengikut-pengikutnya
tidak dapat membaca ataupun menulis. Suripan Sadi Hutomo dalam Tradisi dari
Blora (1996) menunjuk dua tempat penting dalam pergerakan Samin: Desa
Klopodhuwur di Blora sebelah selatan sebagai tempat bersemayam Samin
Surosentiko, dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki
jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance
Castles (1960), Suripan menyebutkan, orang Samin di Tapelan memeluk saminisme
sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1919)
diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo
Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah
Menentang Penjajah, 1999, jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar
di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan
yang terbanyak di Tapelan.
(http://rinangxu.wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/)
Sebagai gerakan yang cukup besar saminisme
tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas
tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati pada zaman penjajahan di
Indonesia. Sekitar tahun 1900, mandor hutan yang menjadi antek Belanda mulai
menerapkan pembatasan bagi masyarakat dalam soal pemanfaatan hutan. Para mandor
itu berbicara soal hukum, peraturan, serta hukuman bagi yang melanggar. Tapi
para saminis, atau pengikut Samin, menganggap remeh perkara itu. Sosialisasi
hukum itu lantas ditindaklanjuti pemerintah Belanda dengan pemungutan pajak
untuk air, tanah, dan usaha ternak mereka. Pengambilan kayu dari hutan harus
seizin mandor polisi hutan. Pemerintah Belanda berdalih semua pajak itu kelak
dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akal bulus itu ditentang oleh
masyarakat pinggir hutan di bawah komando. Samin Surosentiko yang diangkat oleh
pengikutnya sebagai pemimpin informal tanpa persetujuan dirinya. Oleh para
pengikutnya Samin Surosentiko dianggap sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil
Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Para pengikut Samin
berpendapat, langkah swastanisasi kehutanan tahun 1875 yang mengambil alih
tanah-tanah kerajaan menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari
tanah leluhurnya.
Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin
adalah: tanah dan udara adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan
kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor
hutan dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis
memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama,
Jawa ngoko yang kasar alias tidak taklim. Sasaran mereka sangat jelas, para
mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda. Ketika mandor hutan menarik pajak
tanah, secara demonstratif mereka berbaring di tengah tanah pekarangannya
sambil berteriak keras, “Kanggo!” (punya saya). Ini membuat para penguasa dan
orang-orang kota menjadi sinis dan mengkonotasikan pergerakan tersebut sebagai
sekadar perkumpulan orang tidak santun. Penguasa bahkan mendramatisasikan
dengan falsafah Jawa kuno yang menyatakan “Wong ora bisa basa” atau dianggap
tak beradab. Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut orang Samin,
dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan. Ketika pergerakan itu memanas dan mulai
menyebar di sekitar tahun 1905, pemerintah Belanda melakukan represi. Menangkap
para pemimpin pergerakan Samin, juga mengasingkannya. Belanda juga mengambil
alih tanah kepemilikan dari mereka yang tak mau membayar pajak. Namun tindakan
pengasingan dan tuduhan gerakan subversif gagal menghentikan aktivitas para
saminis. Sekarang pun sisa-sisa para pengikut Samin masih ditemukan di kawasan
Blora yang merupakan jantung hutan jati di P.
Jawa.(http://rinangxu.wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/)
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian
Sebagaimana
masyarakat pada umumnya, masyarakat Samin juga memiliki norma kehidupan sehari-hari. Sebagai pegangan
hidup dalam berperilaku sehari-hari, setidaknya ada beberapa norma yang bisa
dicermati pada masyarakat Samin, yaitu :
1. Norma agama
Konsep
masyarakat Samin mengenai agama berbeda dengan konsep agama yang diberikan oleh
para antropolog dan sosiolog. Dimana kata ”agama” bisa dikaitkan dengan sesuatu
yang sifatnya supra, berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris (Hendropuspito
dalam Heny P,1995). Menurut masyarakat Samin, ”agama iku gaman” mengindikasikan bahwa masyarakat Sikep mempunyai
kerangka acuan sendiri, bagaimana mereka memberi makna tentang hidup dan
meletakkan nilai-nilai bersama. Konsep agama bagi masyarakat Sikep konsisten
dengan bahasa Sikep, yaitu sebagai ”gaman”
satu sama lain. Untuk memahami konsep ini perlu diketahui bagaimana masyarakat
Sikep memahami dunia ini.
Bila masyarakat ditanya mengenai
agama mereka, pasti mereka akan menjawab bahwa agama mereka adalah agama adam
dan kalimat lengkapnya ” Agama iku gaman,
gaman lanang. Adam pengucape. Dam,
damele rabi. Menurut Heny P (1995) hal ini bisa dijelaskan sebagai
berikut :
Agama iku gaman : agama adalah senjata. Arti
politisnya adalah untuk menolak masuknya unsur dari luar.
Gaman lanang : senjata laki-laki (arti seksual), alat kelamin
laki-laki
Adam pengucape : ”adam: alat untuk mengucapkan, berarti ”adam” sama dengan bahasa. Bahwa seseorang yang akan melakukan
hubungan persetubuhan dimulai dengan melakukan ”jawab” pada waktu perkawinan.
Sehingga bahasa berfungsi sebagai senjata.
Dam, damele rabi : ”adam” (bahasa dan alat kelamin laki-laki
digunakan sebagai alat untuk hubungan antar manusia, terutama antar laki-laki
dan perempuan.
Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa ”adam” mempunyai
arti seksual dan kebahasaan, kedua arti tersebut saling melekat. Keduanya
sama-sama berfungsi sebagai senjata, seperti yang ditunjukkan dalam ”agama iku gaman”
Dalam hal ini masyarakat Samin sangat mementingkan aspek kejujuran yang
dikaitkan dengan agama yang mereka miliki yaitu agama Adam. Masyarakat Samin
hanya mengatakan apa yang mereka tahu dan mereka lakukan. Berkenaan dengan agama Adam ini, beberapa
pokok ajaran yang terdapat didalamnya antara lain :
- Tidak boleh bohong
- Tidak boleh mencuri
- Tidak boleh iri
- Tidak boleh bertengkar
2. Norma kesopanan
Dalam hal
kesopanan, pada masyarakat Samin bisa dilihat ketika mereka menjadi dengan
ketika menerima tamu. Mereka akan menerima tamu dengan ramah dan bersahabat,
sebab bagi masyarakat Sikep, tamu entah dari mana asalnya tetaplah dianggap
sebagai sedulur (saudara).
3. Norma kebiasaan
Kebiasaan masyarakat Samin ketika
bertemu dengan orang lain adalah dengan menyapa satu sama lain. Apabila sapaan
tidak dijawab maka orang yang menyapa akan segera mendatangi rumah orang yang
disapa tersebut. Kebiasaan ini sudah berlangsung lama.
Lain lagi bila ada salah satu warga
yang sedang mempunyai hajatan tertentu, maka dengan serta-merta seluruh warga
akan bergotong royong membantu warga yang sedang mempunyai hajatan tersebut.
1.
Norma
tata kelakuan
Masyarakat Samin sangat menjungjung
tinggi kejujuran. Meskipun dulu pernah terdapat anggapan yang buruk mengenai
komunitas samin yaitu sebagai pemberontak. Hal ini terkait dengan kebijakan
pemerintahan penjajah pada masa lalu. Ketidakpatuhan masyarakat Samin pada
aturan membuat stigma yang buruk dilekatkan pada mereka.
2.
Norma
adat-istiadat
Adat-istiadat masyarakat Samin
tampak jelas pada sistem perkawinannya. Masyarakat Sikep menganut azas monogami
dalam perkawinan, dan terekspresikan dalam ungkapan siji kanggo salawase, yang artinya satu suami/istri untuk
selamanya. Tujuan perkawinan adalah meneruskan keturunan dengan beranak-pinak (nurunke wiji sing sakbenere).
Konsep ideal mengenai perkawinan
lebih ditekankan pada keinginan masing-masing pihak untuk kawin, dan perceraian
terjadi bila salah satu dari pasangan suami-istri meninggal (cerai mati). Perkawinan
yang diharapkan adalah perkawinan dengan orang-orang sepaham, tetapi tidak ada
larangan untuk melakukan perkawinan dengan orang non sikep. Bagi masyarakat
Sikep di Blora, dikenal konsep awu
dan perkawinan yang diinginkan dan tidak diinginkan. Serta adanya larangan
kawin bagi laki-laki yang lebih muda usianya dibanding perempuan yang akan
dikawininya (Prasongko, 1981:84-88 dalam Heny P, 1995 : 60).
Perkawinan terjadi apabila
seseorang laki-laki dan perempuan telah
sama-sama senang dan punya keinginan yang sama (dhemen lan karep) untuk
membentuk rumah tangga. Dhemen dan karep ini sangat penting bagi pasangan
yang akan kawin, meskipun pada kenyataannya sangat dikontrol oleh orang tua.
Pada prinsipnya tidak ada paksaan dalam hal ini. Dhemen (senang) adalah keinginan memenuhi karep (maksud), dan karep sangat tergantung pada targeraknya hati.
Peranan orang tua sangat besar dalam proses terjadinya perkawinan, meskipun
selalu ditekankan bahwa anak bebas memilih.
Perkawinan menurut konsep masyarakat
Sikep adalah bila telah terjadi hubungan persetubuhan antara seorang laki-laki
dan perempuan dalam masa nyuwita.
B. Pembahasan
Mobilitas
Sosial
Mobilitas sosial
menurut William Kornblum, adalah perpindahan
individu-individu,keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok sosialnya dari satu
lapisan ke lapisan lainya.Sedangkan menurut Michael Bassis adalah
perpindahan keatas atau kebawah lingkungan sosial ekonomi yang merubah status
sosial seseorang dalam masyarakat.
Menurut Horton dan
Hant mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari
suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Dalam mobilitas sosial secara
prinsip dikenal dua macam, yaitu mobilitas sosial vertical dan mobilitas sosial
horizontal. Yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertical adalah perpindahan
individu atau objek sosial dari kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya
yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya karena uitu dikenal da jenis
mobilitas vertical, yaitu:
a. Gerak sosial yang meningkat
(sosial climbing), yaitu gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial
rendsah ke kelas sosial yang lebih tinggi
b. Gerak sosial yang menurun (sosial
sinking), yaitu gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu
ke kelas sosial lain lebih rendah posisinya
Yang dimaksud dengan mobilitas
sosial horizontal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial lainnya
dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat.
Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan pengetahuan yang ada, selalu
ada perubahan yang menyertainya. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat
Samin, ada beberapa perubahan yang bisa dicermati yaitu :
1. Agama
Awalnya masyarakat Samin sangat
memegang teguh ajaran agama Adam. Bahkan sampai sekarang pun masih menunjukkan
hal yang sama. Hanya saja ketika peneliti menanyakan kepada Kepala Desa
mengenai agama yang tertulis di KTP masing-masing warga Samin, maka jawaban
yang didapat bukannya Agama Adam yang termuat di KTP. Namun di KTP jelas
tertera agama Islam lah yang dianut. Tentu saja hal ini mengindikasikan sudah
adanya perubahan status agama menurut aturan formal sesuai di KTP, sementara
dalam prakteknya mereka tetap menerapkan agama Adam dalam kehidupan
sehari-hari. Namun ada pula sekarang ini sebagian masyarakat Samin yang
benar-benar memeluk agama Islam. Sarana peribadatan juga mendukung adanya
perubahan ini, seperti dengan adanya Masjid dan Musholla di desa setempat.
1.
Perkawinan
Dalam sistem perkawinan di masa lalu calon mempelai pria harus menginap
terlebih dahulu di calon wanita, atau lebih sering dikenal dengan istilah nyuwita sampai beberapa bulan bahkan
tahunan, namun sekarang sudah tidak dijalankan lagi karena dianggap bertentangan
dengan ajaran agama Islam. Mengingat sekarang ini sebagian masyarakat Samin
memeluk agama Islam. Sehingga untuk mengikuti prosedur formal dalam perkawinan,
maka sekarang ini perkawinan harus disahkan melalui KUA (Kantor Urusan Agama),
kalau di masa lalu hanya dengan persetujuan dari orang tua saja sudah dirasa
cukup.
2.
Sanksi
Selama ini masyarakat samin tidak menerapkan sanksi yang tegas bagi anggota
masyarakat yang telah melanggar norma-norma yang ada di dalam masyarakat Samin.
Hal ini dikarenakan setiap warga samin mempercayai bahwa apapun kesalahan yang
dilakukan oleh seseorang maka akan menghasilkan akibat yang akan dirasakan oleh
orang itu sendiri. Akan tetapi seiring perkembangan jaman, maka aturan mengenai
sanksi pun sudah mulai mengikuti aturan formal dalam pemerintahan desa.
3.
Teknologi
Dari sisi teknologi, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Samin sudah
mulai mengalami perubahan dari sisi materialnya. Hal ini ditunjukkan dengan
bangunan rumah sudah seperti umumnya rumah masyarakat umum lainnya, di samping
itu juga sebagian besar masyarakat Samin juga memiliki sepeda motor, televisi
dan lain-lainnya. Demikian pula halnya dalam pertanian
juga sudah banyak yang memakai teknologi.
5. Mata
Pencaharian
Dahulu pertanian menjadi mata pencaharian pokok, namun sekarang ini sebagian masyarakat Samin sudah banyak yang
berdagang. Walaupun sebenarnya bila ditelusuri lebih jauh, kegiatan berdagang
juga melanggar norma masyarakat Samin. Namun karena sudah semakin banyak maka
hal ini pun sudah dianggap suatu kewajaran.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Masyarakat
Samin merupakan masyarakat yang mempunyai ciri khusus yang menjadi identitas
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Identitas inilah yang terus dipertahankan
dari dulu sampai sekarang. Namun seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat
Samin dengan
berbagai macam keunikannya ternyata juga mengalami perubahan dari beberapa
sisi. Baik diri sisi agama, mata pencaharian, perkawinan dan sebagainya. Semua
perubahan yang dialami tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya
baik faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal lebih disebabkan
oleh adanya keinginan dari masyarakat Samin sendiri. Sementara faktor eksternal
lebih banyak berupa pengaruh dari luar masyarakat Samin.
Perubahan pada masyarakat Samin bisa
dilihat dari aspek fisik maupun non fisik. Secara fisik, bangunan rumah
masyarakat Samin sudah menyerupai rumah masyarakat lainnya. Begitu pula dengan
kemajuan teknologi juga sudah banyak yang menggunakan mekanisasi pertanian.
Sebagian masyarakat sudah ada pula yang bisa dicermati, diantaranya adalah
mengenai pendidikan. Sebagian masyarakat Samin sudah ada yang mengenyam
pendidikan formal, bahkan ada pula yang sudah lulus menjadi sarjana dan
mengabdikan diri untuk membangun desanya. Ada pula perubahan dari sisi
ketertiban administrasi sebagai penduduk, masyarakat Samin memiliki KTP yang di
dalamnya memuat agama mereka yaitu agama Islam. Meskipun pada prakteknya
sebagian masyarakat Samin masih memegang teguh ajaran agama Adam, namun ada
pula yang sudah memeluk agama Islam dan menjalankan ibadah sesuai dengan
syari’at Islam.
B. SARAN
Terkait dengan hasil kajian mengenai
analisis perubahan sosial pada masyarakat Samin, maka ada beberapa hal yang
perlu disarankan :
1.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pendidikan
anak di masyarakat Samin, peran perempuan dalam kehidupan masyarakat Samin.
2.
Perlu dilakukan kajian mendalam mengenai sisi positif
dari ajaran Saminisme.
3.
Perlu ditransfer mengenai globalisasi dan modernisasi
pada masyarakat Samin.
DAFTAR PUSTAKA.
Moleong, Lexy J. (1998). Metode Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-9. Bandung : Rosda Karya.
Rinangxu. (2006). Masyarakat Samin dan Anarkisme. Tersedia
pada http://rinangxu.wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/. Diakses
pada tanggal 5 Mei 2012.
Chadekayu.2010. Tenganan Pegringsingan Desa Kuno Bunga
Alam Bali Timur.Diunduh dari http://chadekayu.wordpress.com/2010/02/23/tenganan-pegringsingan-desa-kuno-bunga-alam-bali-timur/pada hari Sabtu, 19 februari 2011 pukul 16. 20
J.
Dwi Narwako dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi
Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media
Koentjaraningrat. 2000.Pengantar
Ilmu Antropologi, Jakarta: penerbit PT Rineka Cipta.
Robert
H Lauer. 1989. Perspektif tentang
perubahan sosial. Jakarta. Bina Aksara.
Soerjono
Soekanto. 1982.Sosiologi
Suatu Pengantar. Jakarta:
Penerbit PT Raja Grafindo Persada.
.
Soleman
L. Taneko.1984.Struktur dan Proses
Sosial.Jakarta:CV. Rajawali.
0 comments:
Post a Comment