Monday, December 17, 2012

LAPORAN KKL 1



BAB I
PENDAHULUAN 

A.    Latar Belakang
Pembangunan manusia yang dicanangkan sebagai titik sentral pembangunan nasional bukanlah semata-mata untuk mensukseskan pembangunan tetapi justru pembangunan itu sendiri harus ditujukan untuk manusia. Oleh karena sumber daya manusia bukan hanya sarana untuk memikul beban pembangunan, tetapi harus merupakan sasaran utama dari pembangunan. Ini berarti kesempatan kerja yang berhasil diciptakan oleh pembangunan merupakan salah satu tolok ukur dalam menilai keberhasilan pembangunan.
Pembangunan merupakan bentuk perubahan sosial yang terarah dan terncana melalui berbagai macam kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. (http://learning-of.slametwidodo.com/). Pembangunan yang dilakukan sebenarnya merupakan suatu proses perubahan pada berbagai aspek kehidupan. Perubahan tersebut tidak hanya berupa perubahan fisik saja namun banyak juga yang bersifat non fisik.
Masyarakat Samin yang memiliki berbagai tradisi dan budaya bisa dikategorikan sebagai salah satu kelompok etnik yang ada di Indonesia. Sementara itu Pemerintah Propinsi Jawa Tengah juga mengakui masyarakat Samin ini sebagai salah satu kelompok etnik yang ada di Jawa Tengah dari empat etnik yang ada. Komunitas Samin ialah sekelompok orang yang mengikuti ajaran Samin Surosentiko yang muncul pada masa kolonial Belanda. (http://learning-of.slametwidodo.com/).
Samin Surosentiko di usianya yang 31 tahun pada tahun 1890 mulai menyebarkan ajarannya kepada orang-orang sedesanya. Ajarannya mendapat tanggapan baik, dan segera memikat orang banyak dari desa-desa sekitarnya. Semula ajaran itu tidak serta merta menarik minat pemerintah dan tidak juga menimbulkan persoalan bagi pemerintahan kolonial. Namun sekitar tahun 1905 terjadi perubahan, karena para pengikut Samin mulai menarik diri dari kehidupan umum di desanya, menolak memberikan sumbangan pada lumbung desa dan menggembalakan ternaknya bersama ternak yang lain. ( Widiyanto, 1983 ). Sehingga pada waktu itu masyarakat Samin dapat diidentifikasikan sebagai masyarakat yang ingin membebaskan dirinya dari ikatan tradisi besar yang dikuasai oleh elit penguasa yaitu pemerintahan kolonial.
Sebagai salah satu kelompok etnik yang ada di Indonesia, masyarakat Samin memiliki nilai-nilai budaya yang berbeda dengan masyarakat lainnya. Selama lebih dari 100 tahun masyarakat Samin sudah mengalami perubahan pada pranata sosial dan kebudayaan yang selama ini mereka anut. Bisa dikatakan bahwa Tradisi Saminisme sekarang sudah berubah, artinya Saminisme sudah bukan lagi menjadi kebanggaan dalam struktur sosial dimana mereka hidup. Apabila ditinjau dari sistem nilai, Saminisme sudah tidak lagi menjadi aturan dalam pluralitas nilai yang berada di tengah-tengah mereka. (http://learning-of.slametwidodo.com/)
Perubahan yang terjadi pada masyarakat Samin tentu saja tidak terlepas dari derasnya arus modernisasi. Modernisasi dalam lingkup masyarakat tradisional akan menimbulkan implikasi terhadap masyarakat tersebut. Sebagian besar masyarakat tradisional masih menjunjung tinggi nilai-nilai yang diwarisi secara turun temurun dari nenek moyangnya dulu. Tidaklah mengherankan kelompok masyarakat seperti ini telah memiliki pola budaya tertentu. Di sisi lain adanya modernisasi tentu akan membawa pola budaya baru bagi masyarakat tersebut yang mungkin berbeda dengan norma serta nilai yang lama. (http://learning-of.slametwidodo.com/)
Nilai-nilai baru yang masuk seiring dengan derasnya arus modernisasi membawa konsekuensi perubahan pada masyarakat Samin di berbagai bidang. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan memfokuskan kajian pada analisis perubahan sosial pada masyarakat Samin.
B.    Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan uraian di atas maka permasalahan yang ada harus dibatasi. Pembatasan masalah ini bertujuan untuk memfokuskan perhatian pada observasi agar diperoleh kesimpulan yang benar dan mendalam pada aspek yang diamati. Cakupan masalah dalam observasi ini dibatasi pada bagaimana konsep mobilitas sosial serta yang ada pada masyarakat suku Samin Kabupaten Blora.
C.    Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan masalah diatas maka rumusan masalah pada observasi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.     Bagaimana deskripsi singkat tentang masyarakat suku Samin?
2.     Teori apa yang digunakan untuk mengkaji mobilitas sosial yang terjadi pada masyarakat suku Samin?
3.     Bagaimana mobilitas sosial yang terjadi pada masyarakat suku Samin?
D.    Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
1.     Untuk mengetahui deskripsi singkat tentang suku Samin.
2.     Untuk mengetahui teori yang digunakan untuk mengkaji mobilitas sosial yang terjadi pada masyarakat suku Samin Kabupaten Blora.
3.     Untuk mengetahui konsep mobilitas sosial yang terjadi pada masyarakat suku Samin atau sedulur Sikep.
Tujuan khusus
1.     Untuk mengetahui bagaimana proses mobilitas sosial budaya yang terjadi pada masyarakat suku Samin atau sedulur Sikep.
2.     Secara khusus, untuk mengetahui dampak dari mobilitas  sosial budaya yang terjadi pada masyarakat suku Samin atau sedulur Sikep Kabupaten Blora.

E.    Manfaat Observasi
Observai ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut:
1.     Manfaat secara Teoritis
KKL I di Kabupaten Blora pada suku Samin mengenai Mobilitas sosial di diharapkan dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan, dan memberikan pengetahuan secara umum mengenai perkembangan masyarakat dan perubahan sosial yang terjadi pada suku Samin, serta dapat bermanfaat bagi penelitian selanjutnya yang sesuai dengan tema ini.
2.     Manfaat secara Praktis
a.     Bagi Peneliti
Melalui Kuliah Kerja Lapangan ini, kami dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan khususnya mata  kuliah Struktur dan Proses Sosial secara nyata. Selain itu, kami juga dapat mengetahui bagaimana mobilitas sosial serta struktur dan proses sosial yang ada pada masyarakat suku Samin.
b.     Bagi Mahasiswa
Hasil KKL ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi mengenai mobilitas sosial-budaya terkait dengan era globalisasi saat ini, dan bagaimana fenomena sosiologis yang muncul terkait dengan hal ini, serta laporan observasi ini dapat bermanfaat sebagai referensi kajian untuk observasi lainnya dengan tema yang sesuai.
c.      Bagi Masyarakat
Laporan observasi KKL ini dapat memberikan sumbangan pemikiran  kepada masyarakat mengenai proses dan dampak dari mobilitas sosial-budaya yang terjadi,terutama untuk masyarakat suku Samin itu sendiri. Memberikan kontribusi pengetahuan yang positif kepada masyarakat  mengenai keberadaan masyarakat Samin beserta perubahan sosial yang melingkupinya.Oleh karena itu dalam penelitian ini akan memfokuskan kajian pada analisis perubahan sosial yaitu mobilitas sosial pada masyarakat Samin.
d.     Bagi Universitas dan Lembaga Pendidikan
Hasil laporan observasi KKL ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi para akademisi tentang Perubahan sosial budaya yaitu mobilitas sosial dan dampak sosiologis dari perubahan sosial budaya  yang ditimbulkan

BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

A.    Lokasi Penelitian
Penelitian Kuliah Kerja Lapangan I dilakukan di desa Mendenrejo, kecamatan Kradenan, kabupaten Blora, Jawa Tengah.

B.    Tema penelitian
Penelitian KKL I difokuskan pada tema Mobilitas Sosial yang terjadi pada suku Samin di desa Mendenrejo, kecamatan Kradenan, kabupaten Blora, Jawa Tengah.
C.    Bentuk dan Strategi Penelitian
Berdasarkan sifat dan spesifikasi yang diangkat dalam penelitian ini, maka bentuk penelitian yang tepat digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan Kualitatif.
Penelitian Kualitatif adalah penelitian yang meggunakan wawancara sebagai sumber datanya, dan mencari informasi yang selengkap-lengkapnya dari suatu hal.

D.    Sumber Data
1.     Data Primer
Yang dimaksud data primer disini adalah pengambilan data dengan wawancara. Wawancara telah dilakukan dengan narasumber yaitu beberapa warga masyarakat desa Mendenrejo, kecamatan Kradenan, kabupaten Blora, Jawa Tengah.
.
2.     Data Sekunder
Data ini berupa sumber tertulis yaitu sumber diluar kata-kata dan tindakan yang dikategorikan sebagai sumber data kedua, namun tetap penting keberadaannya bagi upaya pengumpulan data penelitian. Sumber data tertulis dalam penelitian yang telah kami lakukan ini adalah buku-buku, dan sumber-sumber lainnya yang berkenaan dengan observasi ini.


3. Langkah-langkah Penelitian
     a. Tahap Pra Lapangan
         Pada tahap ini peneliti mengadakan survei pendahuluan. Selama proses ini   peneliti mengadakan penjajakan lapangan terhadap lokasi penelitian, studi literatur serta menyusun rancangan penelitian
    b. Tahap Pekerjaan Lapangan
        Dalam tahap ini peneliti memasuki dan memahami lokasi penelitian dalam rangka pengumpulan data
    c. Tahap Analisis Data
        Peneliti melakukan serangkaian proses analisa data kualitatif sampai pada interpretasi data-data yang diperoleh sebelumnya. Selain itu peneliti juga menempuh proses triangulasi data yang dikomparasikan dengan teori kepustakaan.
    d. Tahap Evaluasi dan Pelaporan
        Tahap ini merupakan tahap terakhir dan dilaksanakan setelah penelitian diuji.

4. Teknik Pengumpulan Data
           Teknik pengumpulan data adalah cara-cara untuk memperoleh data yang lengkap, objektif dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya serta sesuai dengan tujuan penelitian. Menurut Lofland and Lofland (1984 : 47) dalam Moleong (1989 : 112) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sedangkan Hadawi Nawawi (1983) mengemukakan bahwa data penelitian dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Data Primer
Yaitu data autentik atau data langsung dari tangan pertama tentang masalah yang diungkapkan. Data ini disebut juga dengan data asli.
      b. Data Sekunder
Yaitu data yang mengutip dari sumber lain sehingga bersifat tidak autentik karena sudah diperoleh dari tangan kedua, dengan demikian data ini disebut juga data tidak asli.
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu :
     a. Wawancara mendalam
Wawancara dilakukan dengan menyiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan. Namun dalam prakteknya daftar pertanyaan ini tidak mengikat jalannya wawancara.
     
       b.  Observasi
Observasi dilakukan di desa Mendenrejo, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
       c.  Dokumentasi
Data-data pendukung lain diperoleh melalui dokumen-dokumen penting seperti dokumen lembaga yang diteliti termasuk di dalamnya data administrasi lembaga. Di samping itu foto maupun sumber tertulis lain yang mendukung juga bisa digunakan dalam proses dokumentasi.
5. Instrumen Penelitian
Instrumen utama adalah peneliti sendiri karena pendekatan yang digunakan adalah kualitatif. Sehingga kedudukan peneliti sekaligus perencana, pelaksana, pengumpul data, penafsir data dan pelapor hasil penelitian. Di samping itu dapat juga digunakan instrumen lain seperti alat tulis, pedoman wawancara, pedoman observasi dan dokumentasi.
6. Analisis Data
Teknik analisis data menggunakan langkah-langkah seperti yang dijelaskan oleh Miles dan Huberman (1992) yaitu :
a.      Reduksi Data
      Proses ini dilakukan dengan mengklasifikasikan data-data dari catatan tertulis di lapangan.


b.   Penyajian Data
      Data yang telah direduksi disajikan dalam laporan yang sistematis, mudah dibaca dan dipahami baik secara keseluruhan maupun bagian-bagian.
c.   Pengambilan Kesimpulan
      Data yang telah diproses kemudian ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode induktif yakni proses penyimpulan dari hal-hal yang sifatnya khusus ke hal-hal yang sifatnya umum agar diperoleh kesimpulan yang obyektif.

7. Uji Keabsahan Data
    Peneliti dalam memeriksa keabsahan data menggunakan teknik :
a.      Triangulasi data yaitu teknik pemeriksaan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding data tersebut. Triangulasi dibedakan menjadi empat macam yaitu dengan sumber, metode, penyidik dan teori (Moleong, 2000). Sedangkan teknik yang digunakan oleh peneliti adalah triangulasi dengan sumber dan metode.
b.     Membercheck yaitu mengulang garis besar apa yang diungkapkan oleh informan pada akhir wawancara guna mengoreksi bila ada kesalahan serta menambahkan apabila terdapat beberapa kekurangan.




















BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Perubahan sosial
    a. William F Ogburn
Ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun yang immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur kebudayaan materiil terhadap unsur-unsur immaterial.  (Soekanto, 1999).
    b. Mac Iver
Memfokuskan pada adanya pembedaan antara utilitarian elements dengan cultural elements yang dilandaskan pada kepentingan-kepentingan manusia baik primer maupun sekunder. Utilitarian elements disebut dengan civilization. Yang dimaksud adalah segala mekanisme dan organisasi yang dibuat manusia untuk dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya, didalamnya termasuk dalam menguasai kondisi-kondisi kehidupannya, termasuk di dalamnya sistem-sistem organisasi sosial, teknik dan alat-alat material. Pesawat telepon, jalan kereta apai, sekolah, hukum dan seterusnya dimasukkan ke dalam golongan tersebut. Sedangkan, culture adalah ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi dan hiburan. Sebuah potret, novel, drama, film, permainan, filsafat dan sebagainya termasuk culture, karena hal-hal tersebut secara langsung memenuhi kebutuhan manusia.
   
c. Gillin dan Gillin
Perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
d. Samuel Koenig
Perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi mana terjadi karena sebab-sebab intern maupun sebab-sebab ekstern.
e. Selo Soemarjan
Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Penekanan definisi ini tertumpu pada lembaga-lembaga kemasyarakatan sebagai himpunan pokok manusia, dimana perubahan yang terjadi akan mempengaruhi segi-segi struktur masyarakat lainnya.
f. Kingsley Davis
Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.


2. Masyarakat Samin
Masyarakat Samin adalah keturunan para pengikut Samin Soerontiko yang mengajarkan sedulur sikep, dimana dia mengobarkan semangat perlawanan terhadap Belanda dalam bentuk lain di luar kekerasan. Sedulur Sikep hidup secara tersebar di pantai utara Jawa Tengah, seperti Kudus, Pati, Blora, Rembang, Bojonegoro bahkan sampai ke Ngawi.
Samin Soerontiko sering disebut juga sebagai Raden Kohar. Ia masih berdarah bangsawan Majapahit yang hidup pada zaman kolonial Belanda. Karena alasan tertentu memutuskan meninggalkan  gemerlap dunia kebangsawanan. Ia mendalami keilmuan spiritual yang saat itu sudah mulai diintervensi oleh kepentingan kelompok  tertentu, khususnya oleh agama-agama baru dan tata kehidupan kolonial. Mbah Samin mendalami sendiri nilai-nilai budi luhur serta beladiri menentang penjajahan Belanda dan pada akhirnya mengajarkan kepada murid-muridnya. Begitu mencoloknya sikap Mbah Samin terhadap tata kehidupan saat itu, sehingga sampai kini orang lain mengatakan ” Dasar orang Samin” pada tindak-tanduk serupa.  (Wahono dkk, 2002)
Bentuk yang dilakukan adalah menolak membayar pajak, menolak segala peraturan yang dibuat pemerintah kolonial.
Masyarakat ini acap memusingkan pemerintah Belanda maupun penjajahan Jepang karena sikap itu, sikap yang hingga sekarang dianggap menjengkelkan oleh kelompok diluarnya. Masyarakat Samin sendiri juga mengisolasi diri sehingga baru pada tahun 70an mereka baru tahu Indonesia telah merdeka. .(http://rinangxu.wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/)
Orang luar Samin sering menganggap mereka sebagai kelompok yang lugu, suka mencuri, menolak membayar pajak, dan acap menjadi bahan lelucon terutama di kalangan masyarakat Bojonegoro. Pokok ajaran Samin diantaranya adalah :
·       Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
·       Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan irihati dan jangan suka mengambil milik orang lain.
·       Bersikap sabar dan jangan sombong.
·       Manusia harus memahami kehidupannya, sebab roh hanya satu dan dibawa abadi selamanya.
·       Bila orang berbicara, harus bisa menjaga mulut, jujur dan saling menghormati. Orang Samin dilarang berdagang karena terdapat unsur ‘ketidakjujuran’ didalamnya. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk apapun.
Masyarakat Samin terkesan lugu, bahkan lugu yang amat sangat, berbicara apa adanya, dan tidak mengenal batas halus kasar dalam berbahasa karena bagi mereka tindak-tanduk orang jauh lebih penting daripada halusnya tutur kata. Kelompok ini terbagi dua, yakni Jomblo-ito atau Samin Lugu, dan Samin sangkak, yang mempunyai sikap melawan dan pemberani. Kelompok ini mudah curiga pada pendatang dan suka membantah dengan cara yang tidak masuk akal. Ini yang sering menjadi stereotip dikalangan masyarakat Bojonegoro dan Blora. Mereka melaksanakan pernikahan secara langsung, tanpa melibatkan lembaga-lembaga pemerintah bahkan agama, karena agama mereka tidak diakui negara. Mereka menganggap agamanya sebagai Agama Adam, yang diterapkan turun temurun. Dalam buku Rich Forests, Poor People - Resource Control and Resistance in Java, Nancy Lee Peluso menjelaskan para pemimpin samin adalah guru tanpa buku, pengikut-pengikutnya tidak dapat membaca ataupun menulis. Suripan Sadi Hutomo dalam Tradisi dari Blora (1996) menunjuk dua tempat penting dalam pergerakan Samin: Desa Klopodhuwur di Blora sebelah selatan sebagai tempat bersemayam Samin Surosentiko, dan Desa Tapelan di Kecamatan Ngraho, Bojonegoro, yang memiliki jumlah terbanyak pengikut Samin. Mengutip karya Harry J. Benda dan Lance Castles (1960), Suripan menyebutkan, orang Samin di Tapelan memeluk saminisme sejak tahun 1890. Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie (1919) diterangkan, orang Samin seluruhnya berjumlah 2.300 orang (menurut Darmo Subekti dalam makalah Tradisi Lisan Pergerakan Samin, Legitimasi Arus Bawah Menentang Penjajah, 1999, jumlahnya 2.305 keluarga sampai tahun 1917, tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati, Rembang, Kudus, Madiun, Sragen, dan Grobogan) dan yang terbanyak di Tapelan. (http://rinangxu.wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/)
Sebagai gerakan yang cukup besar saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati pada zaman penjajahan di Indonesia. Sekitar tahun 1900, mandor hutan yang menjadi antek Belanda mulai menerapkan pembatasan bagi masyarakat dalam soal pemanfaatan hutan. Para mandor itu berbicara soal hukum, peraturan, serta hukuman bagi yang melanggar. Tapi para saminis, atau pengikut Samin, menganggap remeh perkara itu. Sosialisasi hukum itu lantas ditindaklanjuti pemerintah Belanda dengan pemungutan pajak untuk air, tanah, dan usaha ternak mereka. Pengambilan kayu dari hutan harus seizin mandor polisi hutan. Pemerintah Belanda berdalih semua pajak itu kelak dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Akal bulus itu ditentang oleh masyarakat pinggir hutan di bawah komando. Samin Surosentiko yang diangkat oleh pengikutnya sebagai pemimpin informal tanpa persetujuan dirinya. Oleh para pengikutnya Samin Surosentiko dianggap sebagai Ratu Tanah Jawi atau Ratu Adil Heru Cakra dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Para pengikut Samin berpendapat, langkah swastanisasi kehutanan tahun 1875 yang mengambil alih tanah-tanah kerajaan menyengsarakan masyarakat dan membuat mereka terusir dari tanah leluhurnya.
Sebelumnya, pemahaman pengikut Samin adalah: tanah dan udara adalah hak milik komunal yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Mereka menolak berbicara dengan mandor-mandor hutan dan para pengelola dengan bahasa krama. Sebagai gantinya para saminis memperjuangkan hak-haknya dalam satu bingkai, menggunakan bahasa yang sama, Jawa ngoko yang kasar alias tidak taklim. Sasaran mereka sangat jelas, para mandor hutan dan pejabat pemerintah Belanda. Ketika mandor hutan menarik pajak tanah, secara demonstratif mereka berbaring di tengah tanah pekarangannya sambil berteriak keras, “Kanggo!” (punya saya). Ini membuat para penguasa dan orang-orang kota menjadi sinis dan mengkonotasikan pergerakan tersebut sebagai sekadar perkumpulan orang tidak santun. Penguasa bahkan mendramatisasikan dengan falsafah Jawa kuno yang menyatakan “Wong ora bisa basa” atau dianggap tak beradab. Akibatnya, para pengikut Samin yang kemudian disebut orang Samin, dicemooh dan dikucilkan dari pergaulan. Ketika pergerakan itu memanas dan mulai menyebar di sekitar tahun 1905, pemerintah Belanda melakukan represi. Menangkap para pemimpin pergerakan Samin, juga mengasingkannya. Belanda juga mengambil alih tanah kepemilikan dari mereka yang tak mau membayar pajak. Namun tindakan pengasingan dan tuduhan gerakan subversif gagal menghentikan aktivitas para saminis. Sekarang pun sisa-sisa para pengikut Samin masih ditemukan di kawasan Blora yang merupakan jantung hutan jati di P. Jawa.(http://rinangxu.wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/)

















BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil penelitian
Sebagaimana masyarakat pada umumnya, masyarakat Samin juga memiliki norma   kehidupan sehari-hari. Sebagai pegangan hidup dalam berperilaku sehari-hari, setidaknya ada beberapa norma yang bisa dicermati pada masyarakat Samin, yaitu :
1. Norma agama
            Konsep masyarakat Samin mengenai agama berbeda dengan konsep agama yang diberikan oleh para antropolog dan sosiolog. Dimana kata ”agama” bisa dikaitkan dengan sesuatu yang sifatnya supra, berporos pada kekuatan-kekuatan non empiris (Hendropuspito dalam Heny P,1995). Menurut masyarakat Samin, ”agama iku gaman” mengindikasikan bahwa masyarakat Sikep mempunyai kerangka acuan sendiri, bagaimana mereka memberi makna tentang hidup dan meletakkan nilai-nilai bersama. Konsep agama bagi masyarakat Sikep konsisten dengan bahasa Sikep, yaitu sebagai ”gaman” satu sama lain. Untuk memahami konsep ini perlu diketahui bagaimana masyarakat Sikep memahami dunia ini.
            Bila masyarakat ditanya mengenai agama mereka, pasti mereka akan menjawab bahwa agama mereka adalah agama adam dan kalimat lengkapnya ” Agama iku gaman, gaman lanang. Adam pengucape. Dam, damele rabi. Menurut Heny P (1995) hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut  :
Agama iku gaman : agama adalah senjata. Arti politisnya adalah untuk menolak masuknya unsur dari luar.
Gaman lanang            : senjata laki-laki (arti seksual), alat kelamin laki-laki
Adam pengucape : ”adam: alat untuk mengucapkan, berarti ”adam” sama dengan bahasa. Bahwa seseorang yang akan melakukan hubungan persetubuhan dimulai dengan melakukan ”jawab” pada waktu perkawinan. Sehingga bahasa berfungsi sebagai senjata.
Dam, damele rabi : ”adam” (bahasa dan alat kelamin laki-laki digunakan sebagai alat untuk hubungan antar manusia, terutama antar laki-laki dan perempuan.
            Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ”adam” mempunyai arti seksual dan kebahasaan, kedua arti tersebut saling melekat. Keduanya sama-sama berfungsi sebagai senjata, seperti yang ditunjukkan dalam ”agama iku gaman
Dalam hal ini masyarakat Samin sangat mementingkan aspek kejujuran yang dikaitkan dengan agama yang mereka miliki yaitu agama Adam. Masyarakat Samin hanya mengatakan apa yang mereka tahu dan mereka lakukan.  Berkenaan dengan agama Adam ini, beberapa pokok ajaran yang terdapat didalamnya antara lain :
  1. Tidak boleh bohong
  2. Tidak boleh mencuri
  3. Tidak boleh iri
  4. Tidak boleh bertengkar


2. Norma kesopanan
 Dalam hal kesopanan, pada masyarakat Samin bisa dilihat ketika mereka menjadi dengan ketika menerima tamu. Mereka akan menerima tamu dengan ramah dan bersahabat, sebab bagi masyarakat Sikep, tamu entah dari mana asalnya tetaplah dianggap sebagai sedulur (saudara).

3. Norma kebiasaan
            Kebiasaan masyarakat Samin ketika bertemu dengan orang lain adalah dengan menyapa satu sama lain. Apabila sapaan tidak dijawab maka orang yang menyapa akan segera mendatangi rumah orang yang disapa tersebut. Kebiasaan ini sudah berlangsung lama.
            Lain lagi bila ada salah satu warga yang sedang mempunyai hajatan tertentu, maka dengan serta-merta seluruh warga akan bergotong royong membantu warga yang sedang mempunyai hajatan tersebut.

1.     Norma tata kelakuan
            Masyarakat Samin sangat menjungjung tinggi kejujuran. Meskipun dulu pernah terdapat anggapan yang buruk mengenai komunitas samin yaitu sebagai pemberontak. Hal ini terkait dengan kebijakan pemerintahan penjajah pada masa lalu. Ketidakpatuhan masyarakat Samin pada aturan membuat stigma yang buruk dilekatkan pada mereka.

2.     Norma adat-istiadat
            Adat-istiadat masyarakat Samin tampak jelas pada sistem perkawinannya. Masyarakat Sikep menganut azas monogami dalam perkawinan, dan terekspresikan dalam ungkapan siji kanggo salawase, yang artinya satu suami/istri untuk selamanya. Tujuan perkawinan adalah meneruskan keturunan dengan beranak-pinak (nurunke wiji sing sakbenere).
            Konsep ideal mengenai perkawinan lebih ditekankan pada keinginan masing-masing pihak untuk kawin, dan perceraian terjadi bila salah satu dari pasangan suami-istri meninggal (cerai mati). Perkawinan yang diharapkan adalah perkawinan dengan orang-orang sepaham, tetapi tidak ada larangan untuk melakukan perkawinan dengan orang non sikep. Bagi masyarakat Sikep di Blora, dikenal konsep awu dan perkawinan yang diinginkan dan tidak diinginkan. Serta adanya larangan kawin bagi laki-laki yang lebih muda usianya dibanding perempuan yang akan dikawininya (Prasongko, 1981:84-88 dalam Heny P, 1995 : 60).
            Perkawinan terjadi apabila seseorang  laki-laki dan perempuan telah sama-sama senang dan punya keinginan yang sama (dhemen lan karep) untuk membentuk rumah tangga. Dhemen dan karep ini sangat penting bagi pasangan yang akan kawin, meskipun pada kenyataannya sangat dikontrol oleh orang tua. Pada prinsipnya tidak ada paksaan dalam hal ini. Dhemen (senang) adalah keinginan memenuhi karep (maksud), dan karep sangat tergantung pada targeraknya hati. Peranan orang tua sangat besar dalam proses terjadinya perkawinan, meskipun selalu ditekankan bahwa anak bebas memilih.
            Perkawinan menurut konsep masyarakat Sikep adalah bila telah terjadi hubungan persetubuhan antara seorang laki-laki dan perempuan dalam masa nyuwita.

B. Pembahasan
Mobilitas Sosial
Mobilitas sosial menurut William Kornblum, adalah perpindahan individu-individu,keluarga-keluarga, dan kelompok-kelompok sosialnya dari satu lapisan ke lapisan lainya.Sedangkan menurut Michael Bassis adalah perpindahan keatas atau kebawah lingkungan sosial ekonomi yang merubah status sosial seseorang dalam masyarakat.
Menurut Horton dan Hant mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Dalam mobilitas sosial secara prinsip dikenal dua macam, yaitu mobilitas sosial vertical dan mobilitas sosial horizontal. Yang dimaksud dengan mobilitas sosial vertical adalah perpindahan individu atau objek sosial dari kedudukan sosial ke kedudukan sosial lainnya yang tidak sederajat. Sesuai dengan arahnya karena uitu dikenal da jenis mobilitas vertical, yaitu:
a.      Gerak sosial yang meningkat (sosial climbing), yaitu gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial rendsah ke kelas sosial yang lebih tinggi
b.     Gerak sosial yang menurun (sosial sinking), yaitu gerak perpindahan anggota masyarakat dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial lain lebih rendah posisinya
Yang dimaksud dengan mobilitas sosial horizontal adalah perpindahan individu atau objek-objek sosial lainnya dari suatu kelompok sosial yang satu ke kelompok sosial lainnya yang sederajat. Seiring dengan perkembangan jaman dan kemajuan pengetahuan yang ada, selalu ada perubahan yang menyertainya. Demikian pula yang terjadi pada masyarakat Samin, ada beberapa perubahan yang bisa dicermati yaitu :
1. Agama
            Awalnya masyarakat Samin sangat memegang teguh ajaran agama Adam. Bahkan sampai sekarang pun masih menunjukkan hal yang sama. Hanya saja ketika peneliti menanyakan kepada Kepala Desa mengenai agama yang tertulis di KTP masing-masing warga Samin, maka jawaban yang didapat bukannya Agama Adam yang termuat di KTP. Namun di KTP jelas tertera agama Islam lah yang dianut. Tentu saja hal ini mengindikasikan sudah adanya perubahan status agama menurut aturan formal sesuai di KTP, sementara dalam prakteknya mereka tetap menerapkan agama Adam dalam kehidupan sehari-hari. Namun ada pula sekarang ini sebagian masyarakat Samin yang benar-benar memeluk agama Islam. Sarana peribadatan juga mendukung adanya perubahan ini, seperti dengan adanya Masjid dan Musholla di desa setempat.

1.     Perkawinan
Dalam sistem perkawinan di masa lalu calon mempelai pria harus menginap terlebih dahulu di calon wanita, atau lebih sering dikenal dengan istilah nyuwita sampai beberapa bulan bahkan tahunan, namun sekarang sudah tidak dijalankan lagi karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam. Mengingat sekarang ini sebagian masyarakat Samin memeluk agama Islam. Sehingga untuk mengikuti prosedur formal dalam perkawinan, maka sekarang ini perkawinan harus disahkan melalui KUA (Kantor Urusan Agama), kalau di masa lalu hanya dengan persetujuan dari orang tua saja sudah dirasa cukup.

2.     Sanksi
Selama ini masyarakat samin tidak menerapkan sanksi yang tegas bagi anggota masyarakat yang telah melanggar norma-norma yang ada di dalam masyarakat Samin. Hal ini dikarenakan setiap warga samin mempercayai bahwa apapun kesalahan yang dilakukan oleh seseorang maka akan menghasilkan akibat yang akan dirasakan oleh orang itu sendiri. Akan tetapi seiring perkembangan jaman, maka aturan mengenai sanksi pun sudah mulai mengikuti aturan formal dalam pemerintahan desa.

3.     Teknologi
Dari sisi teknologi, kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat Samin sudah mulai mengalami perubahan dari sisi materialnya. Hal ini ditunjukkan dengan bangunan rumah sudah seperti umumnya rumah masyarakat umum lainnya, di samping itu juga sebagian besar masyarakat Samin juga memiliki sepeda motor, televisi dan lain-lainnya. Demikian pula halnya dalam pertanian juga sudah banyak yang memakai teknologi.

5. Mata Pencaharian
Dahulu pertanian menjadi mata pencaharian pokok, namun sekarang ini  sebagian masyarakat Samin sudah banyak yang berdagang. Walaupun sebenarnya bila ditelusuri lebih jauh, kegiatan berdagang juga melanggar norma masyarakat Samin. Namun karena sudah semakin banyak maka hal ini pun sudah dianggap suatu kewajaran.











BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
            Masyarakat Samin merupakan masyarakat yang mempunyai ciri khusus yang menjadi identitas mereka dalam kehidupan sehari-hari. Identitas inilah yang terus dipertahankan dari dulu sampai sekarang. Namun seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat Samin dengan berbagai macam keunikannya ternyata juga mengalami perubahan dari beberapa sisi. Baik diri sisi agama, mata pencaharian, perkawinan dan sebagainya. Semua perubahan yang dialami tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya baik faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal lebih disebabkan oleh adanya keinginan  dari masyarakat Samin sendiri. Sementara faktor eksternal lebih banyak berupa pengaruh dari luar masyarakat Samin.
            Perubahan pada masyarakat Samin bisa dilihat dari aspek fisik maupun non fisik. Secara fisik, bangunan rumah masyarakat Samin sudah menyerupai rumah masyarakat lainnya. Begitu pula dengan kemajuan teknologi juga sudah banyak yang menggunakan mekanisasi pertanian. Sebagian masyarakat sudah ada pula yang bisa dicermati, diantaranya adalah mengenai pendidikan. Sebagian masyarakat Samin sudah ada yang mengenyam pendidikan formal, bahkan ada pula yang sudah lulus menjadi sarjana dan mengabdikan diri untuk membangun desanya. Ada pula perubahan dari sisi ketertiban administrasi sebagai penduduk, masyarakat Samin memiliki KTP yang di dalamnya memuat agama mereka yaitu agama Islam. Meskipun pada prakteknya sebagian masyarakat Samin masih memegang teguh ajaran agama Adam, namun ada pula yang sudah memeluk agama Islam dan menjalankan ibadah sesuai dengan syari’at Islam.

B.  SARAN
            Terkait dengan hasil kajian mengenai analisis perubahan sosial pada masyarakat Samin, maka ada beberapa hal yang perlu disarankan :
1.          Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pendidikan anak di masyarakat Samin, peran perempuan dalam kehidupan masyarakat Samin.
2.          Perlu dilakukan kajian mendalam mengenai sisi positif dari ajaran Saminisme.
3.          Perlu ditransfer mengenai globalisasi dan modernisasi pada masyarakat Samin.

DAFTAR PUSTAKA.

Moleong, Lexy J. (1998). Metode Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-9. Bandung : Rosda Karya.

Rinangxu. (2006). Masyarakat Samin dan Anarkisme. Tersedia pada http://rinangxu.wordpress.com/2006/12/07/samin-anarchy-rebel-budaya/. Diakses pada tanggal 5 Mei 2012.
Chadekayu.2010. Tenganan Pegringsingan Desa Kuno Bunga Alam Bali Timur.Diunduh dari http://chadekayu.wordpress.com/2010/02/23/tenganan-pegringsingan-desa-kuno-bunga-alam-bali-timur/pada hari Sabtu, 19 februari 2011 pukul 16. 20



J. Dwi Narwako dan Bagong Suyanto. 2004. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Prenada Media

Koentjaraningrat. 2000.Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta: penerbit PT Rineka Cipta.

Robert H Lauer. 1989. Perspektif tentang perubahan sosial. Jakarta. Bina Aksara.


Soerjono Soekanto. 1982.Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit PT Raja Grafindo Persada.
.
Soleman L. Taneko.1984.Struktur dan Proses Sosial.Jakarta:CV. Rajawali.








0 comments:

Post a Comment